Ketika suatu saat teman-teman memiliki kesempatan berkunjung kesalah satu kota di pulau jawa , taruhlah itu Yogyakarta, maka kita akan menemukan begitu besar jarak dan ruang perbedaaan perkembangan kesenian disana dengan di kota ini (Maros), mungkin muncul pertanyaan “ kenapa itu bisa tejadi?” pertanyaan inilah yang coba penulis jawab dalam tulisan kali ini.
Mudah-mudahan kita sepakat bahwa semua orang memiliki jiwa seni, namun tidak semua orang mampu mengembangkannya, artinya tidaklah semua orang mampu menyalurkan bakat yang ia miliki dalam dirinya untuk mengembangkannya.
Seni merupakan milik semua kalangan, baik dari kalangan paling bawah, tengah maupun kalangan atas. Seni milik masyarakat bukan cuma milik beberapa kelompok atau komunitas, menurut seniman sekaligus penyair WS. Rendra seni merupakan pendidikan bagi masyarakat, jadi seharusnyalah kita mengembalikan seni itu ke pada masyarakat luas.
Penulis kembali kepertanyaan diawal tulisan ini.
Ditahun 2005 ketika saya berkesempatan mengikuti sebuah Festival Teater Mahasiswa Nasional (FESTAMASIO) di Universitas Gajah Mada, saat itu yang menjadi panitia acara dari Teater Gajah Mada. Selama berada disana saya menyempatkan diri menikmati suasana kota Yogyakarta saat itu, mencoba mengamati budaya dan kesenian disana. Dari pengamatan itu, nampak jelas perbedaan perkembangan kesenian disana, saya sempat berdiskusi dengan kawan-kawan seniman yogya, dari hasil diskusi itu saya menemukan perbedaan ‘iklim berkesenian’ yang mereka ciptakan dengan kami dari daerah.
Bertolak dari kalimat ‘seni untuk masyarakat’ memang benar adanya, para seniman Yogyakarta saling bekerjasama dalam membesarkan kesenian, sehingga masyarakat yogya betul-betul menikmati kesenian yang disajikan para pekerja seni. Dalam mencipta seni tidak ada sekat-sekat antara kelompok satu dengan yang lainnya, mereka lebur dalam satu ikatan, seniman Yogyakarta.
Hal itu tidak terlihat di daerah saya, Maros, salah satu kabupaten terdekat dengan kota Makassar. Saya melihat bahwa selama ini kami mencipta seni hanya semata-mata membesarkan kelompok masing-masing (sanggar) tanpa pernah berfikir bahwa seni merupakan milik bersama, milik masyarakat bukan milik para seniman dan mahasiswa (mudah-mudahan saya keliru dalam hal ini).
Sehingga apa yang menjadi perjuangan selama ini, sulit mendapatkan ending yang bagus. Pemerintah yang diharapkan agar bisa memperhatikan kesenian bahkan bisa menempatkan kesenian sebagai daya tarik parawisata Kab. Maros tidak akan pernah terjadi. Ini karena kekeliruan berfikir dalam menghidupkan kesenian di Kab. Maros, kami cuman sibuk membesarkan kelompok masing-masing.
Harapan saya mudah-mudahan melalui tulisan ini kita dapat memetik pelajaran, tentang bagaimana seharusnya kita mencipta seni, sudah saatnya kita merubah pola pikir dalam penciptaan seni. Saya juga berharap agar saudara-saudara di Sanggar Seni Budaya Lontara dapat mengambil pelajaran, apa yang menjadi kegelisahan kita selama ini dan bisa terobati.
Langkah yang kita lakukan selama ini dalam mencipta seni mudah-mudahan bukan hanya untuk memperjuangkan sanggar kita sendiri, melainkan memperjuangkan nasib kesenian di Kab. Maros. Agar kesenian di kota Maros dapat menjadi kuat hingga mampu mendesak Pemerintah untuk memperhatikan kesenian seperti yang kita perjuangkan bersama-sama.
Diakhir tulisan ini sa meminta maaf apabila dalam penyampaian kali ini ada kata atau kalimat yang tidak berkenan di hati para pembaca, tulisan ini semata-mata hanya untuk mengajak kepada saudara-saudara insan seni untuk bersama berjuang membesarkan kesenian ri butta marusu’.
////>>> Posting. Olank
Tidak ada komentar:
Posting Komentar