Berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah keberadaan Kerajaan Gowa ditetapkan pada tahun 1320. Momen tersebut diambil pada saat pemerintahan Raja Gowa pertama Tumanurung. Pusat Kerajaan Gowa pada saat itu beada di Bukit Tamalate (sekitar makam Sultan Hasanuddin sekarang).
Menurut para ahli sejarah, sebelum tahun 1320, Gowa sudah ada dan sistem pemerintahan pun sudah ada namanya Gowa Purba. Pada masa Gowa Purba belum dikenal dengan aksara lontarak, begitu pula dimasa pemerintahan Tumanurung, namun pada masa itu sudah ada aksara yang bisa dipakai menulis kejadian ataupun peristiwa .
Pada masa pemerintahan Majapahit sudah ada pengaruhnya sampai ke tanah Gowa, ini terbukti dengan adanya nama Batayang (Kab. Bantaeng) dan Makassar, sudah tercantum dalam buku bahasa Sansekerta yang sudah tercatat dalam buku Negarakartagama. (Pustaka Refleksi)
Barulah pada abad 14 silam, tepatnya pada pemerintahan Raja Gowa IX Deang Matanre Karaeng Manguntungi yang lebih tersohor dengan gelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna (1530-1547), kebangkitan rakyat Gowa ditandai dengan lahirnya aksara lontarak oleh Daeng Pamatte salah seorang putra terbaik Gowa saat itu. Penciptaan aksara lontarak itu diawali oleh keinginan Karaeng Tumapakrisik Kallonna untuk menciptakan aksara yang bisa digunakan sebagai media komunikasi, hal ini juga membawa pengaruh perkembangan pendidikan bagi rakyat Gowa. Mengingat pada masa itu juga Benteng Somba Opu merupakan bandar niaga internasional. Sehingga menjadi tujuan pedagang-pedagang dari luar negeri, dan bukan hanya itu, sebagian besar dari pedagang-pedagang luar negeri sudah membuka perwakilan dagang di Gowa.
Kemudian keinginan Baginda Raja inilah yang dirapatkan oleh seluruh pembesar Kerajaan Gowa. Dalam rapat itu mereka bersepakat untuk mewujudkan ide Sang Raja, namun untuk mewujudkannya mengalami kesulitan, bagaimana bentuk dan makna huruf tersebut.
Saat kebingungan itulah muncul ide Daeng Pamatte yang merupakan Syahbandar (Sabannara) Dermaga Somba Opu. Ia memperhatikan burung-burung dari berbagai gaya, mulai dari gaya terbang dan berdiri. Dari hasil pengamatan itu terciptalah 18 huruf aksara lontarak yang kemudian diberi nama aksara jangang-jangang (jangang-jangang = burung-burung). (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan, 1994 ; 10), ada juga pendapat yang menyatakan, bahwa lontarak jangang-jangang ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara Sansekerta (A Moein MG, 1990 ; 14)
Kemudian ketika abad 16 saat Islam masuk di Gowa, aksara lontarak ketika itu mengalami perubahan bentuk, seperti huruf atau bilangan arab, seperti angka 1,2,3 dan seterusnya. Kemudian diberi makna dan jumlah tetap 18 huruf. Lontarak itu kemudian diberi nama lontarak bilang-bilang (bilang-bilang = hitungan)
Ketika memasuki abad 19 lontarak Makassar tersebut mengalami perkembangan, perubahan lontarak pada saat itu dapat diliat dari segi bentuk yang aksar lebih menyerupai bentuk makanan khas masyarakat Makassar yaitu ketupat yang bentuknya segi empat, namun dari bentuk segi empat tersebut sesungguhnya erat kaitannya kepada falsafah Sulapak Appak (segi empat) bagi suku Makassar.
Dari perubahan bentuk aksara lontarak yang menyerupai belah ketupat, juga ditandai penambahan jumlah aksara menjadi 19 huruf, yakni huruf “H” , ini dikarenakan pengaruh Islam yang semakin kuat saat itu.
Baik aksara lontarak yang diciptakan Daeng Pamatte maupun lontarak bilang-bilang ataupun lontarak belah ketupat, dipakai untuk menulis berbagai macam kejadian dan peristiwa penting Kerajaan saat itu. Ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penemuan buku-buku yang bertuliskan aksara lontarak yang berisikan banyak pengetahuan tentang jejak –jejak sejarah Kerajaan Gowa.
Dari kumpulan tulisan peristiwa yang telah ditemukan itu, kemudian dikenal dengan nama lontarak bilang Gowa –Tallo
Buku atau naskah lontarak itu kebanyakan menceritakan tentang kisah nabi, pelajaran agama, buku cerita rakyat, serta peristiwa yang terjadi setiap saat, mantra-mantra,do’a-do’a dan sebagainya.
///<<< Posting. Olank
Tidak ada komentar:
Posting Komentar